Tuesday, January 7, 2014

Kota Ramah Anak



Memimpikan Kota Ramah Anak

Oleh: Zahra Haidar

Siapa yang tidak sayang anak? Setiap orang pasti sayang pada anak. Orang tua  mau mengorbankan apa pun demi anak.  Mereka tidak akan ragu untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan anak. Orang tua bekerja keras kalau ditanya pasti jawabannya adalah untuk kepentingan anak. Namun yang terjadi seringkali justru sebaliknya. Ibu-ibu yang sibuk bekerja tak punya waktu cukup untuk menyusui anaknya, bermain, atau menemani mereka. Bahkan terkadang tak sempat menyiapkan makanan yang bergizi, cukup membeli makanan cepat saji atau mi  instan saja.  Lebih-lebih ayah, tak jauh beda. 
Bagaimana pula dengan peran pemerintah dan lingkungan masyarakat di sekitar anak. Apakah sudah cukup memenuhi hak-hak mereka?  Dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap bahwa kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Padahal yang terjadi  seringkali pembangunan yang dilakukan membabat lahan bermain mereka. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan keterbatasan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Lingkungan di sekitar anak juga kurang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi anak. Jalan yang rusak dan berlubang, kurangnya penerangan, polusi, kaki lima, kurangnya lahan terbuka untuk tempat bermain, kurangnya fasilitas permainan, penjual jajanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, fasilitas transportasi yang kurang nyaman,  coretan-coretan di dinding, tayangan media hiburan yang kurang sesuai untuk anak, dan masih banyak lagi lainnya.
Benarkah kita telah bekerja untuk kepentingan anak?  Atau tanpa sadar kita justru telah mengabaikan atau melanggar hak-hak mereka? Mungkin kita perlu merenungkan kembali apa saja hak dan kebutuhan anak yang harus kita penuhi? Apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, (Save the Children,1996) disebutkan bahwa anak mempunyai beberapa hak berikut ini:
Ø mempunyai hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sulit didapatkan oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan terputus dengan orang tua;      
Ø mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi – tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak;
Ø mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan remaja; 
Ø mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat – sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh; 
Ø mempunyai hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang terbuka untuk bermain.
Ø mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah kota tentang pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak, terutama bagi keluarga yang tidak mampu. Ketersediaan sekolah  termasuk kualitas sekolah perlu mendapat perhatian yang serius;
Ø mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum – mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang sangat penting. Dibutuhkan sarana transportasi yang aman untuk berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi yang tidak menghasilkan polusi; dan ramah anak.


Permasalahan-permasalahan di atas mendasari  dicetuskannya gagasan Child Friendly City Initiative, di Indonesia dikenal dengan sebutan Kota Ramah Anak. Gagasan tersebut lahir pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di  Istambul, Turki tahun 1996. Saat itu perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat. Pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan; serta terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di lingkungannya.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak. Pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
1. mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak;
2. mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus-menerus dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan pemerintahan daerah.

Pengertian
Kota Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak: keputusannya mempengaruhi kotanya; mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;   dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial; menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;       mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik; terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah; aman berjalan di jalan; bertemu dan bermain dengan temannya; mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan yang bebas polusi; berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Gerakan ini telah mulai dilakukan di beberapa negara seperti India, Filipina, Brazil yang menunjukkan hasil menggembirakan. Program Kota Ramah Anak di Filipina memperoleh sambutan hangat, karena sebelumnya warga kota telah mendapat pengetahuan mengenai program "Pelayanan Dasar Kota". Di Brazil, setiap kotanya memiliki sebuah dewan kota yang beranggotakan anak dan remaja. Setiap kecamatan mengirimkan perwakilannya, terdiri satu perempuan dan satu laki-laki ke dewan kota.
Di Indonesia beberapa upaya tengah ditempuh agar dapat menerapkan konsep Kota Ramah Anak. Salah satu di antaranya adalah melalui sosialisasi dan mengadakan program percontohan seperti Sidoarjo Kota Ramah Anak yang menjadi Pilot Projek Pemkab/Pemko Se Indonesia. Saat ini beberapa kota sudah mulai menggagas dan melaksanakannya. 
Bagaimana dengan di kota kita? Rasanya sudah saatnya kepedulian terhadap anak-anak ini dituangkan dengan lebih nyata melalui program yang terencana dan menyeluruh agar hak-hak anak tidak terabaikan. Mungkin sudah saatnya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat merancang konsep yang sesuai dengan kondisi  dan kebutuhan anak-anak di wilayah kota Pasuruan, Probolinggo, dan sekitarnya. Tentu diperlukan perencanaan dan konsep yang matang agar agenda ini tidak berwujud seremonial atau slogan belaka. Suara anak juga perlu di dengar, agar rencana yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.  
Beberapa aspek perlu mendapatkan perhatian khusus, seperti:  peningkatan gizi; peningkatan peran keluarga dalam memenuhi hak anak; menghilangkan kekerasan ferbal maupun fisik terhadap anak; proses pendidikan yang memberikan kebebasan berekspresi pada anak; sarana bermain, sarana berolahraga dan menyediakan wadah untuk mengekspresikan seni;  perpustakaan kota dengan fasilitas yang nyaman dan memadai; layanan rumah sakit  yang ramah anak; menutup jalan-jalan berlubang yang membahayakan anak; sanitasi, merelokasi tempat pembuangan sampah di tepi jalan yang menimbulkan polusi; memberi perhatian khusus pada anak jalanan, anak cacad, serta anak-anak bermasalah; menyediakan sarana, fasilitas dan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan yang memenuhi hak anak.
Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, perlu ada keseimbangan antara peran pemerintah dan masyarakat. Suara anak juga tak dapat diabaikan, mereka perlu didengar tentang pendapat dan keinginannya. Program ini dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari masing-masing departemen atau sektor, organisasi non pemerintah, dan masyarakat sipil. Semua pihak harus ikut berperan serta sesuai dengan bidang dan keahlian yang dimilikinya. Bila semua orang sayang anak, tentu bukan hal yang sulit untuk melakukannya.

No comments:

Post a Comment