Saturday, January 4, 2014

Wanita Kembalilah ke Fitrah




Refleksi Hari Ibu

 Hari Ibu merupakan momen untuk mengenang dan menghargai jasa dan pengorbanan setiap ibu, perempuan, wanita. Momen ini biasanya juga menjadi ajang perjuangan wanita untuk memperjuangkan hak dan eksistensinya. Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember.
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Peristiwa yang diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Berbeda dengan peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

 
Berbagai Cara Memperingati
Hari Ibu seringkali diperingati dengan cara mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Berbagai kegiatan digelar seperti pemberian kado istimewa, surprise party bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Bila mengacu sejarah, seharusnya peringatan Hari Ibu tidak hanya dimaknai sebagai hari mengungkapkan kasih sayang dan memanjakan ibu. Itu tidak salah. Namun, misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa.

Berbagai isu yang berkembang dalam Kongres Perempuan Indonesia I saat itu  antara lain persatuan perempuan nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan mencapai  kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Di Amerika yang merupakan tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women Liberation Movement (Women’s Lib) gencar memperjuangkan persamaan hak wanita. Yang menyedihkan adalah bahwa emansipasi yang mereka perjuangkan justru memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Salah satu yang paling nampak adalah tingginya angka perceraian. Tahun 1980 jumlah anak yang dibesarkan oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50 %. Majalah Fortune melaporkan bahwa penyebab utama perceraian maupun gangguan hubungan sosial dalam keluarga adalah stress yang dialami para wanita eksekutif. Mereka yang berpacu dalam dunia materi banyak dirundung kekecewaan, kekhawatiran, ketidakpuasan, dan akhirnya mengganggu pelaksanaan tanggung jawab mereka dalam keluarga.

Sementara itu kriminalitas terhadap wanita di Amerika juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap 8 detik. Rata-rata seorang wanita diperkosa setiap 6 menit. Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari propaganda feminis yang menuntut kebebasan utuh dan sejajar dengan pria yang membawa kecenderungan pergaulan bebas dan keengganan menikah.

Lain lagi dengan Kongres Wanita di Beijing.  Di antara berbagai keputusan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan wanita sedunia, terdapat keputusan-keputusan yang menimbulkan kengerian di benak kita. Di antaranya, kelonggaran bagi anak-anak mengatur kehidupan sendiri, mengurangi tanggung jawab orang tua, kebebasan memperoleh kenikmatan seksual yang menjurus pada legalitas aborsi, hak atas orientasi seksual yang menjurus pada legalitas pasangan homo seksual, dsb. Surat Ibu Theresia yang dikirim kepada kongres berbunyi: "Wanita dan pria berbeda, justru perbedaan itulah yang indah" tak ditanggapi. Dilain pihak, argumentasi negara Arab (Islam) tentang lebih baik menggunakan kata "keadilan" daripada "kesamaan" juga tak dihiraukan. Begitulah bila emansipasi salah diartikan, hasilnya adalah kebablasan.

Momen untuk Merefleksi Makna Perjuangan
Hari Ibu merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri bagi kaum perempuan.
Mungkin saat ini sudah bukan zamannya lagi untuk memperjuangkan emansipasi wanita yang lebih diartikan sebagai perjuangan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Sebab, sepertinya sudah tak ada halangan lagi bagi wanita untuk mengekspresikan diri. Berbagai ragam profesi mulai tukang batu hingga presiden tak lagi tabu untuk dijalani. Dalam sebuah seminar, Jaya Suprana mengungkapkan keheranannya mengapa para wanita masih menuntut persamaan hak. Dia mengemukakan fakta, sebenarnya hak-hak wanita jauh lebih banyak. Bahkan dia mengutarakan kecemasannya, suatu ketika wanita akan menindas kaum lelaki.

Yang harus diperjuangkan saat ini bukan lagi persamaan hak, tapi bagaimana wanita menghargai dan memberdayakan diri sesuai dengan fitrahnya.

Masalah yang dihadapi kaum wanita di Barat sehingga menimbulkan gerakan feminis bisa jadi karena runtuhnya tradisi agama. Sebetulnya dalam agama dan beberapa tradisi budaya lama, kedudukan wanita tinggi dan terhormat. Agama (setidaknya Islam) sangat meninggikan wanita. Di dalam agama Islam, orang yang harus dihormati adalah ibu, baru kemudian  ayah (Hadits). Sebuah ayat Al-Qur’an mengatakan, diharamkan neraka bagi suami yang sabar dan cinta pada istrinya.

Islam meletakkan status wanita setara dengan pria. Karena dalam Islam orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa, sehingga seorang wanita mencapai derajat yang sama di sisi Allah. Kalaulah Islam meletakkan derajat pria lebih tinggi daripada wanita, itu harus dipahami dalam konteks kepemimpinan dan kewajiban memberikan nafkah.

Secara fisiologis dan psikologis pria dan wanita memang diciptakan berbeda. Secara kodrati wanita diciptakan dengan sifat-sifat biologis seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui) yang tak mungkin dapat dilakukan oleh pria. Fungsi reproduksional ini secara kodrati membuat wanita paling bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak. 

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak, Prof. Dr. Conny Semiawan, dosen psikologi UI, sempat menyatakan keprihatinannya akan meggejalanya kehancuran keluarga karena orangtua lebih memprioritaskan karier. Saat ini hampir setiap  ibu mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai  yang paling atas bekerja dan berkarir di luar rumah. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi anak-anak yang ditinggalkan bekerja. Bagaimana  menderitanya seorang bayi yang baru berusia satu bulan dan masih haus dekapan dan air susu ibu harus berpisah dengan sang ibu selama berjam-jam lamanya. Tentu perasaan sang ibu tak kalah menderita pula. Dan hal ini berlangsung dari hari ke hari sampai ia tumbuh besar jauh dari kasih sayang ayah dan ibu yang sama-sama sibuk bekerja. Tak dapat dipungkiri tentu ada sesuatu yang hilang dalam masa-masa pertumbuhannya.

Tentu tak ada salahnya seorang ibu bekerja atau berkarier, bila hal itu memang dibutuhkan, seperti untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau karena keahliannya memang sangat di butuhkan demi kepentingan orang banyak.  Namun hal itu harus dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Ini adalah bentuk dari emansipasi yang sebenarnya, yaitu kebebasan bagi wanita untuk menentukan pilihannya sendiri dengan bahagia. Tentu bagi wanita yang bekerja tidak dapat melepaskan diri dari peran utamanya sebagai seorang ibu dalam sebuah keluarga. Satu hal yang perlu diingat bahwa perubahan zaman tidak berarti perubahan kodrat pada wanita. Hendaknya setiap wanita menyadari siapa dirinya dan apa kodratnya.

Bagi ibu yang memilih berkarier, tentu bukan hanya sekedar mengikuti tren karena merasa malu bila tidak bekerja. Ini adalah salah satu bentuk emansipasi yang salah kaprah. Seperti yang sering terjadi saat ini bila seorang ibu ditanya apa pekerjaannya, dengan malu-malu menjawab bahwa ia ‘hanya’   seorang ibu rumah tangga yang pekerjaannya ‘momong’ (mengasuh anak).  Padahal harusnya ia merasa bangga karena itu adalah sebuah profesi yang sangat mulia.  ***



No comments:

Post a Comment