Memimpikan Kota Ramah Anak
Oleh: Zahra
Haidar
Siapa yang tidak
sayang anak? Setiap orang pasti sayang pada anak. Orang tua mau mengorbankan apa pun demi anak. Mereka tidak akan ragu untuk memenuhi hasrat
dan kebutuhan anak. Orang tua bekerja keras kalau ditanya pasti jawabannya
adalah untuk kepentingan anak. Namun yang terjadi seringkali justru sebaliknya.
Ibu-ibu yang sibuk bekerja tak punya waktu cukup untuk menyusui anaknya,
bermain, atau menemani mereka. Bahkan terkadang tak sempat menyiapkan makanan
yang bergizi, cukup membeli makanan cepat saji atau mi instan saja.
Lebih-lebih ayah, tak jauh beda.
Bagaimana pula dengan
peran pemerintah dan lingkungan masyarakat di sekitar anak. Apakah sudah cukup
memenuhi hak-hak mereka? Dengan
membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota
menganggap bahwa kebutuhan anakpun telah terwakili dan terpenuhi dengan
sendirinya. Padahal yang terjadi seringkali pembangunan yang dilakukan
membabat lahan bermain mereka. Pengabaian pemerintah kota
terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran yang terbatas, tetapi
juga pada pelayanan dan keterbatasan penyediaan
sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Lingkungan di sekitar
anak juga kurang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi anak. Jalan yang rusak
dan berlubang, kurangnya penerangan, polusi, kaki lima, kurangnya lahan terbuka
untuk tempat bermain, kurangnya fasilitas permainan, penjual jajanan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan, fasilitas transportasi yang kurang nyaman, coretan-coretan di dinding, tayangan media
hiburan yang kurang sesuai untuk anak, dan masih banyak lagi lainnya.
Benarkah kita telah
bekerja untuk kepentingan anak? Atau
tanpa sadar kita justru telah mengabaikan atau melanggar hak-hak mereka?
Mungkin kita perlu merenungkan kembali apa saja hak dan kebutuhan anak yang
harus kita penuhi? Apabila
merujuk pada Konvensi Hak Anak, (Save the Children,1996)
disebutkan bahwa anak mempunyai beberapa hak
berikut ini:
Ø mempunyai
hak untuk tempat tinggal – pasal 27 menegaskan hak setiap anak atas
kehidupan untuk pengembangan fisik, mental, spritual, dan moral. Untuk itu
orang tua bertanggung jawab mengupayakan kondisi kehidupan yang diperlukan
untuk mengembangkan anak sesuai dengan kemampuan. Kondisi seperti ini sulit didapatkan oleh anak jalanan yang tidak mempunyai tempat tinggal
dan terputus dengan orang tua;
Ø mempunyai
hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi –
tempat tinggal padat dan tumpang tindih di kota menjadikan anak merasa
terganggu keleluasaan pribadinya. Kondisi seperti ini banyak dialami oleh
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di kota, sehingga dampaknya adalah
perasaan tertekan dan ketegangan pada diri anak;
Ø mempunyai
hak untuk mendapatkan rasa aman – keamanan fisik dan psikososial merupakan hal
penting bagi anak yang ada di kota. Lemahnya penegakan hukum, meluasnya
kekejaman dan kejahatan mempunyai dampak yang kuat terhadap anak dan
remaja;
Ø mempunyai
hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat –
sanitasi buruk, kurangnya air bersih, kurangnya fasilitas toilet, dan banyaknya
sampah memberi dampak yang serius terhadap kesehatan anak. Kondisi kota seperti
ini menghadapi masalah serius terhadap tumbuh kembang anak, karena mereka muda
terjangkit penyakit cacar, diare, ISPA, TBC, dan penyakit lain yang sering
dialami oleh warga yang tinggal di wilayah kumuh;
Ø mempunyai
hak untuk bermain – ini artinya tersedia areal hijau dan ruang
terbuka untuk bermain.
Ø mempunyai
hak untuk mendapatkan pendidikan – setiap anak mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk memperoleh layanan pendidikan. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah kota tentang pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak,
terutama bagi keluarga yang tidak mampu. Ketersediaan sekolah termasuk kualitas sekolah perlu mendapat perhatian yang serius;
Ø mempunyai
hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum –
mengakses tranportasi umum yang baik untuk semua merupakan hal yang sangat penting. Dibutuhkan sarana transportasi
yang aman untuk berjalan kaki, naik sepeda atau mengakses transportasi
yang tidak menghasilkan polusi; dan ramah anak.
Permasalahan-permasalahan
di atas mendasari dicetuskannya gagasan Child
Friendly City Initiative, di
Indonesia dikenal dengan sebutan Kota
Ramah Anak. Gagasan tersebut lahir pada Konferensi Habitat II atau City
Summit, di Istambul, Turki tahun 1996. Saat itu perwakilan pemerintah dari seluruh dunia
bertemu dan menandatangani Agenda Habitat. Pembukaan
Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai
tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan; serta terpenuhi kebutuhan dan
peran anak dalam bermain di lingkungannya.
Pada UN
Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan
komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak. Pada pertemuan tersebut mereka juga
merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
1. mengembangkan rencana
aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak;
2. mempromosikan peran
serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota
mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah
kota.
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini
terus-menerus
dipromosikan ke seluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan pemerintahan
daerah.
Pengertian
Kota
Ramah Anak menurut UNICEF Innocenti Reseach
Centre adalah
kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota,
berarti anak: keputusannya mempengaruhi kotanya; mengekspresikan
pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan; dapat berperan
serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial; menerima pelayanan
dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang
baik; terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan
salah; aman berjalan di jalan; bertemu dan bermain dengan
temannya; mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di
lingkungan yang bebas polusi; berperan serta dalam kegiatan budaya dan
sosial; dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan,
tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Gerakan ini telah mulai dilakukan di beberapa negara
seperti India, Filipina, Brazil yang menunjukkan hasil menggembirakan. Program Kota Ramah Anak
di Filipina
memperoleh sambutan hangat, karena sebelumnya warga kota telah mendapat
pengetahuan mengenai program "Pelayanan Dasar Kota". Di Brazil, setiap kotanya
memiliki sebuah dewan kota yang beranggotakan anak dan remaja. Setiap kecamatan
mengirimkan perwakilannya, terdiri satu perempuan dan satu laki-laki ke dewan
kota.
Di Indonesia beberapa upaya tengah ditempuh agar
dapat menerapkan konsep Kota Ramah Anak. Salah satu di antaranya adalah melalui sosialisasi dan
mengadakan program percontohan seperti Sidoarjo
Kota Ramah Anak yang menjadi Pilot Projek Pemkab/Pemko Se Indonesia. Saat ini beberapa kota sudah mulai menggagas
dan melaksanakannya.
Bagaimana dengan di kota kita? Rasanya sudah
saatnya kepedulian terhadap anak-anak ini dituangkan dengan lebih nyata melalui
program yang terencana dan menyeluruh agar hak-hak anak tidak terabaikan.
Mungkin sudah saatnya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat merancang
konsep yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan anak-anak di wilayah kota Pasuruan, Probolinggo, dan sekitarnya.
Tentu diperlukan perencanaan dan konsep yang matang agar agenda ini tidak
berwujud seremonial atau slogan belaka. Suara anak juga perlu di dengar, agar
rencana yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.
Beberapa aspek perlu mendapatkan perhatian
khusus, seperti: peningkatan gizi;
peningkatan peran keluarga dalam memenuhi hak anak; menghilangkan kekerasan
ferbal maupun fisik terhadap anak; proses pendidikan yang memberikan kebebasan
berekspresi pada anak; sarana bermain, sarana berolahraga dan menyediakan wadah
untuk mengekspresikan seni; perpustakaan
kota dengan fasilitas yang nyaman dan memadai; layanan rumah sakit yang ramah anak; menutup jalan-jalan
berlubang yang membahayakan anak; sanitasi, merelokasi tempat pembuangan sampah
di tepi jalan yang menimbulkan polusi; memberi perhatian khusus pada anak
jalanan, anak cacad, serta anak-anak bermasalah; menyediakan sarana, fasilitas
dan kebijakan-kebijakan dalam pembangunan yang memenuhi hak anak.
Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi
anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap
tahapan, perlu ada
keseimbangan antara peran pemerintah dan
masyarakat. Suara anak juga tak dapat
diabaikan, mereka perlu didengar tentang pendapat dan keinginannya. Program ini
dapat terwujud melalui suatu kemitraan yang seluas-luasnya dengan
melibatkan semua pihak yang ada di kota. Kemitraan dapat dibangun dengan
melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah kota dari
masing-masing departemen atau sektor, organisasi non pemerintah, dan masyarakat
sipil. Semua pihak harus ikut berperan serta sesuai
dengan bidang dan keahlian yang dimilikinya. Bila semua orang sayang anak,
tentu bukan hal yang sulit untuk melakukannya.
No comments:
Post a Comment