Refleksi Hari Ibu
Sejarah
Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan Konggres
Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Peristiwa yang diilhami oleh perjuangan
para pahlawan wanita abad ke-19 itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting
sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan
Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Presiden Soekarno
menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22
Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.
Berbeda dengan peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.
Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain,
seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu
kedua bulan Mei karena
pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan
bersatu melawan perang saudara.
Berbagai
Cara Memperingati
Hari Ibu seringkali diperingati dengan cara
mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Berbagai kegiatan
digelar seperti pemberian kado istimewa, surprise party bagi para ibu, aneka
lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan
domestik sehari-hari seperti
memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Bila mengacu sejarah,
seharusnya peringatan Hari Ibu tidak hanya dimaknai sebagai hari mengungkapkan
kasih sayang dan memanjakan ibu. Itu tidak salah. Namun, misi diperingatinya
Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para
perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa.
Berbagai isu yang berkembang dalam Kongres
Perempuan Indonesia
I saat itu antara lain persatuan
perempuan nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan mencapai kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam
berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan;
perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi
perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para
pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat
penting bagi kemajuan bangsa.
Di Amerika yang merupakan tempat lahirnya
Gerakan Pembebasan Wanita atau Women Liberation Movement (Women’s Lib) gencar
memperjuangkan persamaan hak wanita. Yang menyedihkan adalah bahwa emansipasi
yang mereka perjuangkan justru memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Salah
satu yang paling nampak adalah tingginya angka perceraian. Tahun 1980 jumlah
anak yang dibesarkan oleh kepala keluarga wanita telah mencapai 50 %. Majalah
Fortune melaporkan bahwa penyebab utama perceraian maupun gangguan hubungan
sosial dalam keluarga adalah stress yang dialami para wanita eksekutif. Mereka
yang berpacu dalam dunia materi banyak dirundung kekecewaan, kekhawatiran,
ketidakpuasan, dan akhirnya mengganggu pelaksanaan tanggung jawab mereka dalam
keluarga.
Sementara itu kriminalitas terhadap wanita di
Amerika juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap 8 detik.
Rata-rata seorang wanita diperkosa setiap 6 menit. Kenyataan ini tidak bisa
dipisahkan dari propaganda feminis yang menuntut kebebasan utuh dan sejajar
dengan pria yang membawa kecenderungan pergaulan bebas dan keengganan menikah.
Lain lagi dengan Kongres Wanita di
Beijing. Di antara berbagai keputusan
yang dimaksudkan untuk kesejahteraan wanita sedunia, terdapat
keputusan-keputusan yang menimbulkan kengerian di benak kita. Di antaranya,
kelonggaran bagi anak-anak mengatur kehidupan sendiri, mengurangi tanggung
jawab orang tua, kebebasan memperoleh kenikmatan seksual yang menjurus pada
legalitas aborsi, hak atas orientasi seksual yang menjurus pada legalitas
pasangan homo seksual, dsb. Surat Ibu Theresia yang dikirim kepada kongres
berbunyi: "Wanita dan pria berbeda, justru perbedaan itulah yang
indah" tak ditanggapi. Dilain pihak, argumentasi negara Arab (Islam)
tentang lebih baik menggunakan kata "keadilan" daripada
"kesamaan" juga tak dihiraukan. Begitulah bila emansipasi salah
diartikan, hasilnya adalah kebablasan.
Momen untuk Merefleksi Makna Perjuangan
Hari Ibu
merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri bagi kaum perempuan.
Mungkin saat ini
sudah bukan zamannya lagi untuk memperjuangkan emansipasi wanita yang lebih diartikan sebagai perjuangan untuk
menuntut persamaan hak dengan kaum pria. Sebab, sepertinya sudah tak ada
halangan lagi bagi wanita untuk mengekspresikan diri. Berbagai ragam profesi
mulai tukang batu hingga presiden tak lagi tabu untuk dijalani. Dalam sebuah
seminar, Jaya Suprana mengungkapkan keheranannya mengapa para wanita masih
menuntut persamaan hak. Dia mengemukakan fakta, sebenarnya hak-hak wanita jauh
lebih banyak. Bahkan dia mengutarakan kecemasannya, suatu ketika wanita akan
menindas kaum lelaki.
Yang harus diperjuangkan
saat ini bukan lagi persamaan hak, tapi bagaimana wanita menghargai dan
memberdayakan diri sesuai dengan fitrahnya.
Masalah yang dihadapi kaum wanita di Barat
sehingga menimbulkan gerakan feminis bisa jadi karena runtuhnya tradisi agama.
Sebetulnya dalam agama dan beberapa tradisi budaya lama, kedudukan wanita
tinggi dan terhormat. Agama (setidaknya Islam) sangat meninggikan wanita. Di
dalam agama Islam, orang yang harus dihormati adalah ibu, baru kemudian ayah (Hadits). Sebuah ayat Al-Qur’an mengatakan,
diharamkan neraka bagi suami yang sabar dan cinta pada istrinya.
Islam meletakkan status wanita setara dengan
pria. Karena dalam Islam orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa,
sehingga seorang wanita mencapai derajat yang sama di sisi Allah. Kalaulah
Islam meletakkan derajat pria lebih tinggi daripada wanita, itu harus dipahami
dalam konteks kepemimpinan dan kewajiban memberikan nafkah.
Secara fisiologis dan psikologis pria dan
wanita memang diciptakan berbeda. Secara kodrati wanita diciptakan dengan
sifat-sifat biologis seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan,
mengandung (plus melahirkan), menyusui) yang tak mungkin dapat dilakukan oleh
pria. Fungsi reproduksional ini secara kodrati membuat wanita paling
bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak,
Prof. Dr. Conny Semiawan, dosen psikologi UI, sempat menyatakan keprihatinannya
akan meggejalanya kehancuran keluarga karena orangtua lebih memprioritaskan
karier. Saat ini hampir setiap ibu mulai
dari kalangan ekonomi lemah sampai yang
paling atas bekerja dan berkarir di luar rumah. Dapat dibayangkan bagaimana
kondisi anak-anak yang ditinggalkan bekerja. Bagaimana menderitanya seorang bayi yang baru berusia
satu bulan dan masih haus dekapan dan air susu ibu harus berpisah dengan sang
ibu selama berjam-jam lamanya. Tentu perasaan sang ibu tak kalah menderita
pula. Dan hal ini berlangsung dari hari ke hari sampai ia tumbuh besar jauh
dari kasih sayang ayah dan ibu yang sama-sama sibuk bekerja. Tak dapat
dipungkiri tentu ada sesuatu yang hilang dalam masa-masa pertumbuhannya.
Tentu tak ada salahnya seorang ibu bekerja
atau berkarier, bila hal itu memang dibutuhkan, seperti untuk mencukupi
kebutuhan keluarga atau karena keahliannya memang sangat di butuhkan demi
kepentingan orang banyak. Namun hal itu
harus dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Ini adalah
bentuk dari emansipasi yang sebenarnya, yaitu kebebasan bagi wanita untuk
menentukan pilihannya sendiri dengan bahagia. Tentu bagi wanita yang bekerja
tidak dapat melepaskan diri dari peran utamanya sebagai seorang ibu dalam
sebuah keluarga. Satu hal yang perlu diingat bahwa perubahan zaman tidak
berarti perubahan kodrat pada wanita. Hendaknya setiap wanita menyadari siapa
dirinya dan apa kodratnya.
Bagi ibu yang memilih berkarier, tentu bukan
hanya sekedar mengikuti tren karena merasa malu bila tidak bekerja. Ini adalah
salah satu bentuk emansipasi yang salah kaprah. Seperti yang sering terjadi
saat ini bila seorang ibu ditanya apa pekerjaannya, dengan malu-malu menjawab
bahwa ia ‘hanya’ seorang ibu
rumah tangga yang pekerjaannya ‘momong’ (mengasuh anak). Padahal harusnya ia merasa bangga karena itu
adalah sebuah profesi yang sangat mulia.
***
No comments:
Post a Comment